Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga
orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar di
kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung
kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan,
menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut mimpi,
mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa kaleidoskop
peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun. Maka,
ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai
sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang
menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh
kemegahan.
Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah,
bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah
demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia
cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.
"Ingat
ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian
proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang
sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia
justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan
fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya
sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari
orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia
untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya
pepatah-petitih di lidah mereka.
Tapi, di saat yang lain, ia
merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di
lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka,
orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan,
terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka
ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai
dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang
tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya
ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.
"Datuk kan bisa
melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang
bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua
rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau
Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya
sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak
boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas bisa menyebut dua
frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang tak
sebertuah lidah Datuk."
Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu
merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada badai-topan
dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat.
Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini
ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang
menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian menjamurnya
anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak terlahir tak
ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen, mengganja,
dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh
mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan
kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah,
membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa tempurung ini, kini
lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang pengap, sebuah
ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban masa
depan.
Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi.
Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar,
orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian membangun
tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan orang-orang
Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa mereka
sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka
para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini
mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.
Peristiwa
buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam penyakit yang
aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tusukan
jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik yang dijual di
kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit itu membuat si
penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa mengucapkan dua frasa
itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka kebanyakan menjadi bisu,
tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain erangan.
Dan ia,
si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan bahwa sebab dari semua ini
adalah karena kelancangan mereka yang menyebut dua frasa itu secara
sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu kini bahkan telah
diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia bernilai tinggi karena
dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua frasa itu diproduksi,
seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan asin. Dan anehnya,
mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri sebenarnya juga
bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang lain.
Sesekali
ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan saran, "Sebenarnya kalian
juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua frasa itu secara
sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari seorang renta yang
bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara gemerisik semak dalam
hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang sumbang, "Maklum,
masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di malam yang mendung
itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang secara agak memaksa,
membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu bingung, kenapa orang-orang
yang biasanya selembe saja padanya, kini demikian bersemangat memintanya
untuk ikut bersama mereka. Apakah ada sebuah perayaan? Setahu ia, di
sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari besar maupun perayaan adat.
Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering tidak diundang, karena
mungkin dianggap telah demikian uzur, atau mungkin kehadirannya membuat
orang-orang muda tak bebas berekspresi, karena pastilah terkait dengan
pantang-larang.
Sesampainya di tepian laut, ia menyaksikan
orang-orang telah duduk bersila, sebagian bersimpuh, di atas pasir
hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat. Di bibir pantai,
terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti barisan meriam yang
moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah, inilah satu frasa
itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang lain," pikir
lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan ada sebuah
upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?
Seorang
muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu. "Datuk,
kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa mengobati
kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak terkejut.
Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda bahwa
orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit. Yang tampak olehnya
adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang berdoa. Tapi pemuda
itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul di sini sedang
menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah benar-benar bisu dan tak
bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian kecil yang lain,
termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu, Datuk. Sementara
untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua frasa itu kan,
Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk melakukan prosesi
pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk, saya betul-betul tak
bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti tersangkut saat hendak
menyebut sebuah frasa.
Lelaki renta itu seperti tak percaya. Tapi
kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan. Lalu ia mendekatkan
mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik, "Anak muda, kalian
pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu. Kini kalian juga yang
meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian tak takut badai topan
yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"
Pemuda itu tertunduk
ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk, kami semua pasrah.
Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan kami harus mati
karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami harus hidup
membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"
Bibir lelaki
renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia akan mampu
bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah
demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia
cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya. Paling
tidak di dalam hatinya, ia senantiasa mengucapkan dua frasa itu menjadi
sebuah kalimat, Lancang Kuning yang tersesat di tepian Selat Melaka.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar