Parmin
Karya: Andini Cahya Priyan
Ridany / VIII-I / 06
Mencurigai. Betapa tidak enaknya
perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Mencurigai
sepertinya mengungkit nilai-nilai negatif yang sebenarnya tertanam dalam
pengalaman batin kita sendiri. Membongkar perbendaharaan pikiran-pikiran kotor,
khayalan-khayalan busuk, menderetkan segala kemungkinan terburuk. Lalu
mencocok-cocokkan perbuatan khayali kita dengan perilaku orang yang kita
curigai.
Lebih baik tidak enak lagi kalau orang
itu adalah Parmin. Tukang kebun yang rajin dan tak banyak cakap itu. Yang
kerjanya cekatam, dengan wajah senantiasa memancarkan kesabaran. Tak pernah kedapatan
sedikit saja membayang kemarahan pada wajah itu. Namun, tertawa berkepanjangan
pun jarang lepas dari mulutnya. Senyum, itu saja. Senyum yang bisa muncul pada
banyak kesempatan. Saat ia bicara. Saat ia menerima tugas, menerima gaji. Juga
saat mami memberitahu bahwa gaji akan dibayarkan terlambat, misalnya. Rasanya
senyum itu lebih demi membahagiakan orang lain daripada ungkapan kebahagiaan
dirinya sendiri. Itu pula yang kadang membangkitkan rasa iba, tanpa dia sadari
bersikap meminta.
Parmin justru banyak memberi, Cuma
jarang bagitu disadari. Parmin menjadi tokoh yang senantiasa hadir dalam kehidupan
keluarga. Predikat tukang kebun tinggal sebutan, sebab kerjanya tak sebatas di
seputar bunga-bunga di taman. Saluran wastafel tersumbat, pompa air ngadat,
bola lampu mati, tahi heder kotor mengotori lantai, beras setengah kwintal
mesti dipindahkan dari pintu depan ke gudang belakang. Semuanya menjadi
bahan-bahan kerja parmin selalu siaga menggarapnya. Lalu segala nampak layak,
seolah sudah semestinya, justru ketika tak terbayang bahwa Oche, Himan, Ucis,
Tomas, lebih-lebih mami atau papi akan bisa menangani ’hal-hal yang sepele’
itu. Papi jelas tak mungkin mengangkut tahi anjing ke tong sampah, sementara
yakin suatu saat ada yang mau dan lebih melakukannya. Di sini Parmin akan
tampil sebagai sukarelawan.
”Tolong ya,Min.”
”Ngihh,”
sambil tersenyum.
”Terima kasih, ya, Min.”
Sekali lagi mengiyakan. Sekali lagi
tersenyum.
Tapi keadaan telah berubah. Semenjak
pesta ulang tahun papi beberapa hari yang lalu, senyum itu tak akrab lagi
dengan wajah lugunya. Tak ada yang bisa memaksa Parmin untuk mengatakan sesuatu
sehubung dengan kemurungannya itu selain ucapan, ”Saya tidak apa-apa.” Rasanya
berat untuk berpikiran bahwa orang seperti dia bisa melakukan tindakan tak
terpuji. Tapi apa boleh buat, ada dugaan kuat bahwa paling tidak dia telah
berbuat salah yang membuatnya begitu resah. Dan inilah peristiwa yang mengawali
kecurigaan itu, seperti berulang kali diceritakan mami.
”Saya pas masuk dapur waktu itu,
kelihatan sekelebatan orang yang keluar dari pintu samping. Saya tidak terlalu
memeperhatikan karena banyak tamu yang ada di sekitar situ. Waktu mau balik ke
depan, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Lalu saya ke garasi. Ada parmin di
situ, yang kelihatan siap membawa sepedanya keluar. Saya tanya, ”Mau kemana,
Min?” saya kaget karena Parmin tiba-tiba gugup melihat saya. ”Mau pulang.”,
katanya. Saya bilang ”Nanti saja, mbantuin kita beres-beres”. Dia memang batal
pulang, tapi nampak sekali sangat kecewa. Tidak omong apa-apa selain nunduk dan
menaruh sepedanya lagi. Padahal biasanya dia malah senang kita minta tolong,
karena saya selalu memberi uang tambahan. Karena penasaran saya pura-pura ke
dalam, tapi lewat jendela saya mengintip garasi. Dan, ini! (suara mami lalu
melirih seolah ada seibu telinga Parmin di sekitar situ). Beberapa saat melihat
ke arah tasnya yang tergantung di sepeda, baru kemudian pergi. Balik lagi.!
Sepertinya dia mau membuka tas itu, tapi batal, ragu-ragu, mengengok kiri
kanan. Lalu akhirnya seperti pasrah, dia tiggalkan sepeda itu, perlahaannn...
sambil matanya terus memandang ke tasnya.
Parmin mencuri? Itulah kemungkinan
yang paling dikhawatirkan. Hari-hari sebelumnya sebenarnya tidak ada petunjuk
ke arah itu. Bahkan hari sabtu, pada siangnya pesta itu akan berlangsung,
pagi-pagi ia datang masih dengan penampilan cerah seperti biasa. Ikut menata
meja dan kursi yang bukan kewajibannya. Tapi, seperti dikatakan mami, akankah
goadaan itu bisa datang tiba-tiba.?
Benar sekali. Misalnya: kapan dan
mengapa? Sekitar jam sepuluh ia membanti Parjilah bebelanja ke beberapa rumah
makan, pasar dan supermarket. Sekembali di rumah, menurut kesaksian Himan,
”Parmin nampak sangat lelah”, saat turun dari mobil membawa tas besar berisi
beberapa kota plastik es krim. Ada peristiwa khusus perjalanan? ”Tidak ada
apa-apa,” parjilah bertutur.
Selanjutnya pekerjaan Parmin tidak
berat: menyimpan es krim, menghidangkannya bila ada tamu yang berminat.
Segalanya berjalan beres. Mami juga merasa tidak pernah memarahi atau menegur
Parmin karena memang tidak ada kesalahan apa-apa. Malah keponakan-keponakan
yang kadang nakal mencampur macam-macam es krim dan membuangnya begitu saja
kalau rasanya tidak enak. Untuk ini paling-paling Parmin sedikit lebih sibuk
mencuci banyak gelas kotor. Lalu apa arti kegugupan itu ?
Adalah sangat mengagetkan ketika
keesokan harinya ia tetap muncul, walau masih dengan kegelisahan dan
kegugupannya. Nampak lesu, bekerja tanpa gairah, Parmin kemudian minta izin
pulang awal dengan alasan kurang enak badan.
Celakanya, tak seorang pun yang
sanggup dan tega bertanya langsung ke masalah yang menjurus. Soal tas itu,
teristimewa. Sebab jelas ada petujuk yang sangat menarik: Parmin tidak lagi
membawa tas itu. Lebih celakanya, papi cuma andalan terakhir yang di
nanti-nanti gebrakannya sanggup memperdengarkan decak-decak mulutnya, seperti
hendak mengatakan: ”Ada yang tidak beres”. Artinya, papi juga mempertimbangkan
kecurigaan ini dan cenderungmengiyakan perlunya kehati-hatian terhadap parmin.
Tapi buat apa? Sebab, keesokan harinya lagi, yaitu dua hari setelah kejadian di
garasi, Parmi. tak masuk!.
Bisa jadi ’sang tikus’ berhasil
berbelit dari perangkap. Tapi berarti pula ada kesempatan menyelidiki. Dapur diteliti,
gudang belakang di bongkar. Diamati sekdama apakah terdapat kerusakan pada
pintu-pintu, dan yang penting adakah brang-barang di dalam yang hilang, yang
kira-kira paling berharga dan bisa menarik perhatian seseorang yang ”sudah lama
melakukan pengamatan dengan menyamar sebagai tukang kebun”.
Pekerjaaan ini ternyata gampang,
bukan saja oleh kelewat banyaknya gudang yang begitu saja tertebar di lantau
ataupun berdesak-desakan dalam almari, tapi juga karena malah banyak ditemukan
kembali brang-barang yang sudah lama dicari, yang barangalai lima-enam tahun
lalu telah dianggap hilang. Juga barang-barang ketinggalan zaman macam
tape-recorde seperempat inci buatan tahun enam puluhan yang bahkan si bungsu
Tomas pun belum pernah melihatnya. Atau mesin tik tua yang konon di beli papa
”waktu masih hangat-hangat pacaran sama mami”. Ada pula seperangkat gunting dan
pisau buatan pande besi Cilacap yang ”mami terpaksa beli karena zama itu susah
cari barang bagus bikinan luar”. Dan tak sedikit paket-paket besar entah dari
siapa yang belum pernah di buka sama sekali.
Walhasil, kerja seharian
bongkar-muat sana-sini tak menghasilkan apa-apa selain rangkaian nostalgia dan
seonggok debu. Jadi? Bisa saja Parmin tak mengambil apa-apa, pada saat itu.
Tapi belum tentu untuk hari-hari mendatang, sebagaimana ditandaskan oleh Tante
Tatik, kakak papi tertua, ketika dihubungi mami melewati telpon. ”hati-hati.
Pencuri zaman sekarang mulai bekerja pakai akal. Mereka pandai-pandai, punya
planing. Rumah sebelah pernah kena rampok jutaan rupiah. Tahu siapa pelaku
utamanya? Bekar sopir! Dia tahu persis di mana tempat menyimpan barang-barang
berharga.”
Mami tersenta. Ya, siapa sebenarnya
Parmin?
Pembantu
perempuan cepat-cepat dipanggil, lalu di interograsi.
”Parjilah! Dulunya Parmin itu
tinggal sedusun sama kamu?”
”Tidak”
”Lho, jadi bukan apa-apa kamu to?
Tidak kenal sejak didusun? Sejak kecil? Tidak tahu juga rumahnya dimana? Atau
rumah saudara-saudara dia?”
”Tidak, saya kenal mas Parmin waktu
dia kerja di rumah sebelah.”
Mami camas, mesti bertanya ke rumah
sebelah. Gagang telpon di angkat. Tapi berapa nomornya? Di buku telpon pribadi tidak tercatat karena mereka
memang bukan kenal akrab, yang jarang ada keperluan khusus untuk
bercakap-cakap.
”Oche, atau Tommy,atau siapa saja,
ada yang tahu nomor telpon Pak Hendrawan rumah sebelah?”
”Oom Hendrawan kan sudah pindah,
Mi.”
”Lho apan?”
”Waktu mami ke Jepang kemarin.”
Ya, ampun!
”Rumah Parmin pasti tidak jauh dari
sini. Ke sini dia Cuma bersepeda.” papi menganalisa.”Besok bisa kita tanyakan
ke kelurahan kalau perlu ke kecamatan”
Mami setuju. Tapi ....
”Dimana sih kantor kecamatan kita?”
Pada akhirnya
ternyata Mami, atau siapun, tak perlu merepotkan diri ke kantor kelurahan,
kecamatan, atau kantor apapun, karena pada hari ketiga,keempat, dan seterusnya
sampai dengan kemarin ini, Parmin masuk seperti biasa.
Namun tak berarti persoalan lalu
selesai. Sebab nanti siang akan ada pesta lagi. (Arisan keluarga sebenarnya.
Tapi apalah bedanya dengan pesta.) kecurigaan atas diri Parmin tak menjadika
mami ragu-ragu memperbolehan Parmin datang membantu-bantu. Malah sebaliknya,
pesta nanti siang seolang dirancang sebagai perangkap, yang diharapan bisa
marangsang Parmin agar ”melakukan rekonstruksi tanpa paksaan”.
”Mau ada acara makan,” mami
menambahkan.
Tak biasanya mami berkata begitu,
sebab sudah sendirinya Parkim akan tahu. Ada yang diharapkan, memang, ialah
munculnya kegelisahan Parmin, atau sekurang-kurangnya suatu reaksi. Dan ini
mulai tampak, ketika mami menyuruh dia ke pasar bersama Parjilah, termasuk
supermarket, membeli es krim, seperti dulu.
Adalah Himan yang bertugas mengamati
Parmin secara khusus. Anak nomor dua ini (yang menjadi penganggur setelah lulus
SMA tahun kemarin tidak diterima di perguruan tinggi negeri mana pun dan papi
memutuskan ”sekalian sekolah diluar negeri saja”). Memang banyak waktu laung,
terutama untu hal-hal yang menurutnya berbau spionase.dia pula yang kemudian
melihat, betapa tangan Parmin gemeteran memegang gelas-gelas, serta
berkali-kali es krim yang dituang ke dalamnya tumpah ke lantai.
Arisan memang berjalan lancar, namun
tak urung Mami terbawa-bawa jadi gelisah. Dan, entah mesti disyukuri atauah
disesalkan, rekonstruksi ternyata berjalan persis yang di nanti. Parmi, suatu
ketika, melintas cepat dari dapur ke garasi. Himan, siaga. Sempat ia melihat
Parmin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya sekilas, karena secepat itu
pula Parmin melarikan sepedanya keluar.
”Kejar!” mami berteriak.
Jam menunjukkan pukul lima sore
ketika Himan meloncat ke atas sepeda balapnya sendiri, melesat ke jalanan
mengerjar Parmin.
Maka nampaklah dua sepeda mencoba
berpacu, berkelip di antara ratusan mobil yang berhenti ataupun melata pelan,
ditengah jalanan jakarta yang macet, tanpa ada yang tahu persis siapa mengejar
siapa. Yang jelas Parmin tak tahu bahwa ia tengah dikejar, sementara Himan
sendiri lama-lama menjadi kurang yakin bahwa parmin pantas untuk
dikerjar-kejar. Sebab tak pernah satu kalipun Parmin menoleh ke belakang,
lebih-lebih mencoba menyembunyikan diri.
Jangan-jangan, justru Parmin lah
yang tengah mengejar sesuatu, tapi apa?
Suara adzan mahgrib kedengaran dari
segala penjuru. Hampir sejam keduanya berpacu. Parmin makin gesit ketika
menikung masuk kampung, sementara Himan mengikuti dengan perasaan makin
bertanya-tanya. Jalan distiu tak lagi dikenalinya. Jalan beraspal tipis yang
lebih banyak berlapis lumpur merah. Lalu lintas sepi.
Himan terpaksa menjaga jarak.
Lebih-lebih ketika Parmin turun dari sepedanya, dan masuk kesebuah gang yang
tak jelas wujudnya karena kadang menyatu dengan halaman rumah orang. Ah,
halaman! Betapa itu sebenarnya tak lebih dari teras sempit tanpa pagar yang biasanya
di pakai tempat menjemur pakaian. Dan, gang yang lebih kecil adalah batas
antara rumah-rumah itu sendiri, yang dua buah sepeda motor pun rasa-rasanya
sulit berpapasan disitu. Bercabang-cabang. Berliu-liku. Serimbun rumah-rumah
petak yang berderet malang-melintang. Hingga beberapa ali Himan kehilangan
jejak, dan setiap kali pula ia harus menerima pandangan orang-orang sekitar
yang bagi Himan berbau kecurigaan.
Sampai kemudian Parmin nampak
mnyusuri dinding sebuah rumah petak, separuh bangunan batu dan sebelah atas
dinding kayu. Di ujung sana Parmin memsukkan sepedanya. Himan cepat menyusul.
Tapi yang di hadapinya kemudian memaksanya untuk berhenti melangkah, urung
mngergap. ”bapak pulang! Bapak datang!.”
Tiga anak kecil keluar dari dalam
merubung Parmin. Seorang meninju-ninju kaki bapaknya, seorang ber brigdance tak
karuan, dan yang satunya menarik-narik tas. ”Hati-hati ada isinya!”
Serentak ketiganya bersorak.
”mak!tas bapak ada isinya!”
Istri Parmin keluar, membawa segalas
teh yang nampaknya sudah disiapkan sejak tadi. Sementara itu tas dibuka. Ada
bungkusan plastik. Bungkusan di buka. Ada kantong plastik. Kantong plastik
dibuka. Sibungsu merebut. Plastik pecah. Isinya sebagian tumpah. ”mak! Es
krim!” ”cepat ambil gelas!”
Gelas, itulah yang tepat. Sebab es
krim itu tinggal berupa cairan putih yang tak jauh beda dengan air susu,
menetes deras ke lantai. Oleh sang ibu lalu ditadah ke dalam gelas yang
dipegang erat oleh masing-masing anak. Serentak semua diam. Semua tegang
menanti bagian. Cuma kedengaran si bungsu yang berulang menyedot ingus. Lalu
selesailah pembagian itu, masing-masing sepertiga gelas lebih sedikit.
Tangan-tangan mungil itu mulai memasukkan sendok ke dalam gelas.
”He, he, kalau sudah begini lupa
berdoa, ya?”
“Brdoa kan kalo buat makan nasi, Mak.”
”Ya sudah, sekarang mengucap terima
kasih saja,” Parmin menyambung. ”yang memberi es krim ini, tante Oche, tante
Ucis, sama om Himan. Ayo, gimana?”
Dengan takzim etiganya mengucapkan
pelan, satu anak menyebut satu nama.
”Terima kasih tante Oche.”
”Terima kasih tante Ucis.”
”Terima kasih om Himan.”
Himan melangkah surut. Diambilnya
sepedanya, lalu pelan ia menyusuri gang yang remang oleh sisa-sisa cahya lampu
dari dalam rumah-rumah petak yang jendelanya masih terbuka. Setiap kali ia
berpapasan dengan tukang bakso pulang kerja, juga penjual minya tanah, penjual
siomay, kondektur bus kota, supir bajaj...
Bila nanti Himan sulit menceritakan
segala yang baru dilihatnya, tentu bukan karena sekonyong-konyong ia kehilangan
kata-kata, namun perbendaharaan kata itu memang belum pernah dimilikinya, ialah
untuk sekedar bercerita tentang oran-orang yang bahkan begitu dekat dengan
kehidupannya. Kehidupannya juga, barangkali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar