Cari Blog Ini

Jumat, 16 November 2012

Parmin_cerpen



Parmin
Karya: Andini Cahya Priyan Ridany / VIII-I / 06

            Mencurigai. Betapa tidak enaknya perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Mencurigai sepertinya mengungkit nilai-nilai negatif yang sebenarnya tertanam dalam pengalaman batin kita sendiri. Membongkar perbendaharaan pikiran-pikiran kotor, khayalan-khayalan busuk, menderetkan segala kemungkinan terburuk. Lalu mencocok-cocokkan perbuatan khayali kita dengan perilaku orang yang kita curigai.

            Lebih baik tidak enak lagi kalau orang itu adalah Parmin. Tukang kebun yang rajin dan tak banyak cakap itu. Yang kerjanya cekatam, dengan wajah senantiasa memancarkan kesabaran. Tak pernah kedapatan sedikit saja membayang kemarahan pada wajah itu. Namun, tertawa berkepanjangan pun jarang lepas dari mulutnya. Senyum, itu saja. Senyum yang bisa muncul pada banyak kesempatan. Saat ia bicara. Saat ia menerima tugas, menerima gaji. Juga saat mami memberitahu bahwa gaji akan dibayarkan terlambat, misalnya. Rasanya senyum itu lebih demi membahagiakan orang lain daripada ungkapan kebahagiaan dirinya sendiri. Itu pula yang kadang membangkitkan rasa iba, tanpa dia sadari bersikap meminta.

            Parmin justru banyak memberi, Cuma jarang bagitu disadari. Parmin menjadi tokoh yang senantiasa hadir dalam kehidupan keluarga. Predikat tukang kebun tinggal sebutan, sebab kerjanya tak sebatas di seputar bunga-bunga di taman. Saluran wastafel tersumbat, pompa air ngadat, bola lampu mati, tahi heder kotor mengotori lantai, beras setengah kwintal mesti dipindahkan dari pintu depan ke gudang belakang. Semuanya menjadi bahan-bahan kerja parmin selalu siaga menggarapnya. Lalu segala nampak layak, seolah sudah semestinya, justru ketika tak terbayang bahwa Oche, Himan, Ucis, Tomas, lebih-lebih mami atau papi akan bisa menangani ’hal-hal yang sepele’ itu. Papi jelas tak mungkin mengangkut tahi anjing ke tong sampah, sementara yakin suatu saat ada yang mau dan lebih melakukannya. Di sini Parmin akan tampil sebagai sukarelawan.

            ”Tolong ya,Min.”
            Ngihh,” sambil tersenyum.
            ”Terima kasih, ya, Min.”
            Sekali lagi mengiyakan. Sekali lagi tersenyum.

            Tapi keadaan telah berubah. Semenjak pesta ulang tahun papi beberapa hari yang lalu, senyum itu tak akrab lagi dengan wajah lugunya. Tak ada yang bisa memaksa Parmin untuk mengatakan sesuatu sehubung dengan kemurungannya itu selain ucapan, ”Saya tidak apa-apa.” Rasanya berat untuk berpikiran bahwa orang seperti dia bisa melakukan tindakan tak terpuji. Tapi apa boleh buat, ada dugaan kuat bahwa paling tidak dia telah berbuat salah yang membuatnya begitu resah. Dan inilah peristiwa yang mengawali kecurigaan itu, seperti berulang kali diceritakan mami.

            ”Saya pas masuk dapur waktu itu, kelihatan sekelebatan orang yang keluar dari pintu samping. Saya tidak terlalu memeperhatikan karena banyak tamu yang ada di sekitar situ. Waktu mau balik ke depan, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Lalu saya ke garasi. Ada parmin di situ, yang kelihatan siap membawa sepedanya keluar. Saya tanya, ”Mau kemana, Min?” saya kaget karena Parmin tiba-tiba gugup melihat saya. ”Mau pulang.”, katanya. Saya bilang ”Nanti saja, mbantuin kita beres-beres”. Dia memang batal pulang, tapi nampak sekali sangat kecewa. Tidak omong apa-apa selain nunduk dan menaruh sepedanya lagi. Padahal biasanya dia malah senang kita minta tolong, karena saya selalu memberi uang tambahan. Karena penasaran saya pura-pura ke dalam, tapi lewat jendela saya mengintip garasi. Dan, ini! (suara mami lalu melirih seolah ada seibu telinga Parmin di sekitar situ). Beberapa saat melihat ke arah tasnya yang tergantung di sepeda, baru kemudian pergi. Balik lagi.! Sepertinya dia mau membuka tas itu, tapi batal, ragu-ragu, mengengok kiri kanan. Lalu akhirnya seperti pasrah, dia tiggalkan sepeda itu, perlahaannn... sambil matanya terus memandang ke tasnya.

            Parmin mencuri? Itulah kemungkinan yang paling dikhawatirkan. Hari-hari sebelumnya sebenarnya tidak ada petunjuk ke arah itu. Bahkan hari sabtu, pada siangnya pesta itu akan berlangsung, pagi-pagi ia datang masih dengan penampilan cerah seperti biasa. Ikut menata meja dan kursi yang bukan kewajibannya. Tapi, seperti dikatakan mami, akankah goadaan itu bisa datang tiba-tiba.?

            Benar sekali. Misalnya: kapan dan mengapa? Sekitar jam sepuluh ia membanti Parjilah bebelanja ke beberapa rumah makan, pasar dan supermarket. Sekembali di rumah, menurut kesaksian Himan, ”Parmin nampak sangat lelah”, saat turun dari mobil membawa tas besar berisi beberapa kota plastik es krim. Ada peristiwa khusus perjalanan? ”Tidak ada apa-apa,” parjilah bertutur.

            Selanjutnya pekerjaan Parmin tidak berat: menyimpan es krim, menghidangkannya bila ada tamu yang berminat. Segalanya berjalan beres. Mami juga merasa tidak pernah memarahi atau menegur Parmin karena memang tidak ada kesalahan apa-apa. Malah keponakan-keponakan yang kadang nakal mencampur macam-macam es krim dan membuangnya begitu saja kalau rasanya tidak enak. Untuk ini paling-paling Parmin sedikit lebih sibuk mencuci banyak gelas kotor. Lalu apa arti kegugupan itu ?

            Adalah sangat mengagetkan ketika keesokan harinya ia tetap muncul, walau masih dengan kegelisahan dan kegugupannya. Nampak lesu, bekerja tanpa gairah, Parmin kemudian minta izin pulang awal dengan alasan kurang enak badan.

            Celakanya, tak seorang pun yang sanggup dan tega bertanya langsung ke masalah yang menjurus. Soal tas itu, teristimewa. Sebab jelas ada petujuk yang sangat menarik: Parmin tidak lagi membawa tas itu. Lebih celakanya, papi cuma andalan terakhir yang di nanti-nanti gebrakannya sanggup memperdengarkan decak-decak mulutnya, seperti hendak mengatakan: ”Ada yang tidak beres”. Artinya, papi juga mempertimbangkan kecurigaan ini dan cenderungmengiyakan perlunya kehati-hatian terhadap parmin. Tapi buat apa? Sebab, keesokan harinya lagi, yaitu dua hari setelah kejadian di garasi, Parmi.  tak masuk!.

            Bisa jadi ’sang tikus’ berhasil berbelit dari perangkap. Tapi berarti pula ada kesempatan menyelidiki. Dapur diteliti, gudang belakang di bongkar. Diamati sekdama apakah terdapat kerusakan pada pintu-pintu, dan yang penting adakah brang-barang di dalam yang hilang, yang kira-kira paling berharga dan bisa menarik perhatian seseorang yang ”sudah lama melakukan pengamatan dengan menyamar sebagai tukang kebun”.

            Pekerjaaan ini ternyata gampang, bukan saja oleh kelewat banyaknya gudang yang begitu saja tertebar di lantau ataupun berdesak-desakan dalam almari, tapi juga karena malah banyak ditemukan kembali brang-barang yang sudah lama dicari, yang barangalai lima-enam tahun lalu telah dianggap hilang. Juga barang-barang ketinggalan zaman macam tape-recorde seperempat inci buatan tahun enam puluhan yang bahkan si bungsu Tomas pun belum pernah melihatnya. Atau mesin tik tua yang konon di beli papa ”waktu masih hangat-hangat pacaran sama mami”. Ada pula seperangkat gunting dan pisau buatan pande besi Cilacap yang ”mami terpaksa beli karena zama itu susah cari barang bagus bikinan luar”. Dan tak sedikit paket-paket besar entah dari siapa yang belum pernah di buka sama sekali.

            Walhasil, kerja seharian bongkar-muat sana-sini tak menghasilkan apa-apa selain rangkaian nostalgia dan seonggok debu. Jadi? Bisa saja Parmin tak mengambil apa-apa, pada saat itu. Tapi belum tentu untuk hari-hari mendatang, sebagaimana ditandaskan oleh Tante Tatik, kakak papi tertua, ketika dihubungi mami melewati telpon. ”hati-hati. Pencuri zaman sekarang mulai bekerja pakai akal. Mereka pandai-pandai, punya planing. Rumah sebelah pernah kena rampok jutaan rupiah. Tahu siapa pelaku utamanya? Bekar sopir! Dia tahu persis di mana tempat menyimpan barang-barang berharga.”

            Mami tersenta. Ya, siapa sebenarnya Parmin?
Pembantu perempuan cepat-cepat dipanggil, lalu di interograsi.
            ”Parjilah! Dulunya Parmin itu tinggal sedusun sama kamu?”

            ”Tidak”

            ”Lho, jadi bukan apa-apa kamu to? Tidak kenal sejak didusun? Sejak kecil? Tidak tahu juga rumahnya dimana? Atau rumah saudara-saudara dia?”

            ”Tidak, saya kenal mas Parmin waktu dia kerja di rumah sebelah.”

            Mami camas, mesti bertanya ke rumah sebelah. Gagang telpon di angkat. Tapi berapa nomornya? Di buku telpon pribadi tidak tercatat karena mereka memang bukan kenal akrab, yang jarang ada keperluan khusus untuk bercakap-cakap.

            ”Oche, atau Tommy,atau siapa saja, ada yang tahu nomor telpon Pak Hendrawan rumah sebelah?”
            ”Oom Hendrawan kan sudah pindah, Mi.”
            ”Lho apan?”
            ”Waktu mami ke Jepang kemarin.”
            Ya, ampun!

            ”Rumah Parmin pasti tidak jauh dari sini. Ke sini dia Cuma bersepeda.” papi menganalisa.”Besok bisa kita tanyakan ke kelurahan kalau perlu ke kecamatan”
            Mami setuju. Tapi ....
            ”Dimana sih kantor kecamatan kita?”
Pada akhirnya ternyata Mami, atau siapun, tak perlu merepotkan diri ke kantor kelurahan, kecamatan, atau kantor apapun, karena pada hari ketiga,keempat, dan seterusnya sampai dengan kemarin ini, Parmin masuk seperti biasa.

            Namun tak berarti persoalan lalu selesai. Sebab nanti siang akan ada pesta lagi. (Arisan keluarga sebenarnya. Tapi apalah bedanya dengan pesta.) kecurigaan atas diri Parmin tak menjadika mami ragu-ragu memperbolehan Parmin datang membantu-bantu. Malah sebaliknya, pesta nanti siang seolang dirancang sebagai perangkap, yang diharapan bisa marangsang Parmin agar ”melakukan rekonstruksi tanpa paksaan”.

            ”Mau ada acara makan,” mami menambahkan.

            Tak biasanya mami berkata begitu, sebab sudah sendirinya Parkim akan tahu. Ada yang diharapkan, memang, ialah munculnya kegelisahan Parmin, atau sekurang-kurangnya suatu reaksi. Dan ini mulai tampak, ketika mami menyuruh dia ke pasar bersama Parjilah, termasuk supermarket, membeli es krim, seperti dulu.

            Adalah Himan yang bertugas mengamati Parmin secara khusus. Anak nomor dua ini (yang menjadi penganggur setelah lulus SMA tahun kemarin tidak diterima di perguruan tinggi negeri mana pun dan papi memutuskan ”sekalian sekolah diluar negeri saja”). Memang banyak waktu laung, terutama untu hal-hal yang menurutnya berbau spionase.dia pula yang kemudian melihat, betapa tangan Parmin gemeteran memegang gelas-gelas, serta berkali-kali es krim yang dituang ke dalamnya tumpah ke lantai.

            Arisan memang berjalan lancar, namun tak urung Mami terbawa-bawa jadi gelisah. Dan, entah mesti disyukuri atauah disesalkan, rekonstruksi ternyata berjalan persis yang di nanti. Parmi, suatu ketika, melintas cepat dari dapur ke garasi. Himan, siaga. Sempat ia melihat Parmin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya sekilas, karena secepat itu pula Parmin melarikan sepedanya keluar.

            ”Kejar!” mami berteriak.

            Jam menunjukkan pukul lima sore ketika Himan meloncat ke atas sepeda balapnya sendiri, melesat ke jalanan mengerjar Parmin.

            Maka nampaklah dua sepeda mencoba berpacu, berkelip di antara ratusan mobil yang berhenti ataupun melata pelan, ditengah jalanan jakarta yang macet, tanpa ada yang tahu persis siapa mengejar siapa. Yang jelas Parmin tak tahu bahwa ia tengah dikejar, sementara Himan sendiri lama-lama menjadi kurang yakin bahwa parmin pantas untuk dikerjar-kejar. Sebab tak pernah satu kalipun Parmin menoleh ke belakang, lebih-lebih mencoba menyembunyikan diri.

            Jangan-jangan, justru Parmin lah yang tengah mengejar sesuatu, tapi apa?

            Suara adzan mahgrib kedengaran dari segala penjuru. Hampir sejam keduanya berpacu. Parmin makin gesit ketika menikung masuk kampung, sementara Himan mengikuti dengan perasaan makin bertanya-tanya. Jalan distiu tak lagi dikenalinya. Jalan beraspal tipis yang lebih banyak berlapis lumpur merah. Lalu lintas sepi.

            Himan terpaksa menjaga jarak. Lebih-lebih ketika Parmin turun dari sepedanya, dan masuk kesebuah gang yang tak jelas wujudnya karena kadang menyatu dengan halaman rumah orang. Ah, halaman! Betapa itu sebenarnya tak lebih dari teras sempit tanpa pagar yang biasanya di pakai tempat menjemur pakaian. Dan, gang yang lebih kecil adalah batas antara rumah-rumah itu sendiri, yang dua buah sepeda motor pun rasa-rasanya sulit berpapasan disitu. Bercabang-cabang. Berliu-liku. Serimbun rumah-rumah petak yang berderet malang-melintang. Hingga beberapa ali Himan kehilangan jejak, dan setiap kali pula ia harus menerima pandangan orang-orang sekitar yang bagi Himan berbau kecurigaan.

            Sampai kemudian Parmin nampak mnyusuri dinding sebuah rumah petak, separuh bangunan batu dan sebelah atas dinding kayu. Di ujung sana Parmin memsukkan sepedanya. Himan cepat menyusul. Tapi yang di hadapinya kemudian memaksanya untuk berhenti melangkah, urung mngergap. ”bapak pulang! Bapak datang!.”

            Tiga anak kecil keluar dari dalam merubung Parmin. Seorang meninju-ninju kaki bapaknya, seorang ber brigdance tak karuan, dan yang satunya menarik-narik tas. ”Hati-hati ada isinya!”

            Serentak ketiganya bersorak. ”mak!tas bapak ada isinya!”

            Istri Parmin keluar, membawa segalas teh yang nampaknya sudah disiapkan sejak tadi. Sementara itu tas dibuka. Ada bungkusan plastik. Bungkusan di buka. Ada kantong plastik. Kantong plastik dibuka. Sibungsu merebut. Plastik pecah. Isinya sebagian tumpah. ”mak! Es krim!” ”cepat ambil gelas!”
           
            Gelas, itulah yang tepat. Sebab es krim itu tinggal berupa cairan putih yang tak jauh beda dengan air susu, menetes deras ke lantai. Oleh sang ibu lalu ditadah ke dalam gelas yang dipegang erat oleh masing-masing anak. Serentak semua diam. Semua tegang menanti bagian. Cuma kedengaran si bungsu yang berulang menyedot ingus. Lalu selesailah pembagian itu, masing-masing sepertiga gelas lebih sedikit. Tangan-tangan mungil itu mulai memasukkan sendok ke dalam gelas.

            ”He, he, kalau sudah begini lupa berdoa, ya?”
            “Brdoa kan kalo buat makan nasi, Mak.”
            ”Ya sudah, sekarang mengucap terima kasih saja,” Parmin menyambung. ”yang memberi es krim ini, tante Oche, tante Ucis, sama om Himan. Ayo, gimana?”

            Dengan takzim etiganya mengucapkan pelan, satu anak menyebut satu nama.
            ”Terima kasih tante Oche.”
            ”Terima kasih tante Ucis.”
            ”Terima kasih om Himan.”
            Himan melangkah surut. Diambilnya sepedanya, lalu pelan ia menyusuri gang yang remang oleh sisa-sisa cahya lampu dari dalam rumah-rumah petak yang jendelanya masih terbuka. Setiap kali ia berpapasan dengan tukang bakso pulang kerja, juga penjual minya tanah, penjual siomay, kondektur bus kota, supir bajaj...

            Bila nanti Himan sulit menceritakan segala yang baru dilihatnya, tentu bukan karena sekonyong-konyong ia kehilangan kata-kata, namun perbendaharaan kata itu memang belum pernah dimilikinya, ialah untuk sekedar bercerita tentang oran-orang yang bahkan begitu dekat dengan kehidupannya. Kehidupannya juga, barangkali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar