Cari Blog Ini

Jumat, 23 November 2012

christina perri ft kazee~a thousand yers

The day we met
Frozen I held my breath
Right from the start
I knew that I found a home for my
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I’m afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow

One step closer

I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more

Time stands still
Beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
What’s standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this

One step closer

I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I’ll love you for a thousand more

One step closer

I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years

Isi Wawancara _ satpol PP



Isi Wawancara


Antara Anis dengan Pak Dedik (Satpol PP)

Anis          : “selamat siang pak, bisakah bapakmeluangkan waktu     
                   sebentar?”

Pak Dedik  : ”oh tentu bisa.”

Anis          : ”nama bapak siapa?”

Pak Dedik  : ”nama bapak Dedik.”

Anis          : ”kalau boleh tau nama lengkapnya siapa?”

Pak Dedik  : ”oh tentu, nama lengkap bapak Dedik Hasan Sjam.”

Anis          : ”umur bapak sekarang berapa?”

Pak Dedik  : ”umur bapak sekarang 41 tahun.”

Anis          : ”bapak bekerja menjadi Satpol PP sudah berapa
                   lama?”

Pak Dedik  : ”sudah 11 tahun.”

Anis          : ”apakah dulu bapak waktu kecil pernah bercita-cita
                   menjadi Satpol PP?”

Pak Dedik  : ”oh tidak, dulu bapak waktu kecil tidak bercita-cita
                   menjadi Satpol PP.

Anis          : ” kalau boleh tau, dulu bapak sekolah dimana dan   
                    mengambil Jurusan apa hingga menjadi Satpol PP
                    seperti sekarang ini?”

Pak Dedik  : ”dulu bapak sekolah di SMA 11 lalu ke A2.”

Anis          : ”bapak diangkat menjadi polisi pada tahun berapa?”

Pak Dedik  : ”tahun 2001.”

Anis          : ”bapak sekarang pangkatnya apa?”

Pak Dedik  : ”sekarang ZA.”

Anis          : ”bapak sekrang bekerja dibidang apa?”

Pak Dedik  : ”oh saya termasuk di pasukan.”

Anis          : ”bapak bertugas di daerah mana saja?”

Pak Dedik  : ”di seluruh Surabaya.”

Anis          : ”apakah bapak sudah berkeluarga?”

Pak Dedik  : ”ya sudah tho nak.”

Anis          : ”kira-kira di jadwal bapak yang padat  menjadi Satpol
PP ini Apakah bapak bisa membagi waktu antara    
bekerja dan   Berkumpul bersama keluarga?”

Pak Dedik  : ”tentu, ya kalau ada waktu luang saya manfaatkan            
                   Untuk berkumpul bersama keluarga saya.”

Anis          : ”pesan bapak untuk pemuda seperti kami ini menurut
                   Bapak apa?”

Pak Dedik  : ”pesan bapak untuk pemuda saat ini jangan suka
                   keluar malam sekarang ini banyak pemuda yang
                   mengunjungi diskotik dan tempat-tempat yang
                   tidak layak dikunjungi untuk pemuda.
                   Dan saya juga ingatkan, jangan sering keluyuran
                   Malam-malam karna malam Satpol PP juga berjaga. 
                   Jika ketahuan akan ditangkap oleh Satpol PP.”

Anis          : ”apa amanat bapak untuk pemuda saat ini?”

Pak Dedik  : ”jadilah pemuda dan pemudi bangsa yang baik dan
                   Tetap mengerti tata tertib.”

Anis          : ”siap pak! Saya akan mematuhi tata tertib yang ada !
                   Kalau begitu terima kasih pak atas waktunya, maaf                       telah Mengganggu aktivitas bapak, selamat siang
                   Pak.”

Pak Dedik  : ”kembali kasih, ya sama-sama.”

Jumat, 16 November 2012

Parmin_cerpen



Parmin
Karya: Andini Cahya Priyan Ridany / VIII-I / 06

            Mencurigai. Betapa tidak enaknya perbuatan ini. Bahkan terhadap orang yang patut dicurigai sekalipun. Mencurigai sepertinya mengungkit nilai-nilai negatif yang sebenarnya tertanam dalam pengalaman batin kita sendiri. Membongkar perbendaharaan pikiran-pikiran kotor, khayalan-khayalan busuk, menderetkan segala kemungkinan terburuk. Lalu mencocok-cocokkan perbuatan khayali kita dengan perilaku orang yang kita curigai.

            Lebih baik tidak enak lagi kalau orang itu adalah Parmin. Tukang kebun yang rajin dan tak banyak cakap itu. Yang kerjanya cekatam, dengan wajah senantiasa memancarkan kesabaran. Tak pernah kedapatan sedikit saja membayang kemarahan pada wajah itu. Namun, tertawa berkepanjangan pun jarang lepas dari mulutnya. Senyum, itu saja. Senyum yang bisa muncul pada banyak kesempatan. Saat ia bicara. Saat ia menerima tugas, menerima gaji. Juga saat mami memberitahu bahwa gaji akan dibayarkan terlambat, misalnya. Rasanya senyum itu lebih demi membahagiakan orang lain daripada ungkapan kebahagiaan dirinya sendiri. Itu pula yang kadang membangkitkan rasa iba, tanpa dia sadari bersikap meminta.

            Parmin justru banyak memberi, Cuma jarang bagitu disadari. Parmin menjadi tokoh yang senantiasa hadir dalam kehidupan keluarga. Predikat tukang kebun tinggal sebutan, sebab kerjanya tak sebatas di seputar bunga-bunga di taman. Saluran wastafel tersumbat, pompa air ngadat, bola lampu mati, tahi heder kotor mengotori lantai, beras setengah kwintal mesti dipindahkan dari pintu depan ke gudang belakang. Semuanya menjadi bahan-bahan kerja parmin selalu siaga menggarapnya. Lalu segala nampak layak, seolah sudah semestinya, justru ketika tak terbayang bahwa Oche, Himan, Ucis, Tomas, lebih-lebih mami atau papi akan bisa menangani ’hal-hal yang sepele’ itu. Papi jelas tak mungkin mengangkut tahi anjing ke tong sampah, sementara yakin suatu saat ada yang mau dan lebih melakukannya. Di sini Parmin akan tampil sebagai sukarelawan.

            ”Tolong ya,Min.”
            Ngihh,” sambil tersenyum.
            ”Terima kasih, ya, Min.”
            Sekali lagi mengiyakan. Sekali lagi tersenyum.

            Tapi keadaan telah berubah. Semenjak pesta ulang tahun papi beberapa hari yang lalu, senyum itu tak akrab lagi dengan wajah lugunya. Tak ada yang bisa memaksa Parmin untuk mengatakan sesuatu sehubung dengan kemurungannya itu selain ucapan, ”Saya tidak apa-apa.” Rasanya berat untuk berpikiran bahwa orang seperti dia bisa melakukan tindakan tak terpuji. Tapi apa boleh buat, ada dugaan kuat bahwa paling tidak dia telah berbuat salah yang membuatnya begitu resah. Dan inilah peristiwa yang mengawali kecurigaan itu, seperti berulang kali diceritakan mami.

            ”Saya pas masuk dapur waktu itu, kelihatan sekelebatan orang yang keluar dari pintu samping. Saya tidak terlalu memeperhatikan karena banyak tamu yang ada di sekitar situ. Waktu mau balik ke depan, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Lalu saya ke garasi. Ada parmin di situ, yang kelihatan siap membawa sepedanya keluar. Saya tanya, ”Mau kemana, Min?” saya kaget karena Parmin tiba-tiba gugup melihat saya. ”Mau pulang.”, katanya. Saya bilang ”Nanti saja, mbantuin kita beres-beres”. Dia memang batal pulang, tapi nampak sekali sangat kecewa. Tidak omong apa-apa selain nunduk dan menaruh sepedanya lagi. Padahal biasanya dia malah senang kita minta tolong, karena saya selalu memberi uang tambahan. Karena penasaran saya pura-pura ke dalam, tapi lewat jendela saya mengintip garasi. Dan, ini! (suara mami lalu melirih seolah ada seibu telinga Parmin di sekitar situ). Beberapa saat melihat ke arah tasnya yang tergantung di sepeda, baru kemudian pergi. Balik lagi.! Sepertinya dia mau membuka tas itu, tapi batal, ragu-ragu, mengengok kiri kanan. Lalu akhirnya seperti pasrah, dia tiggalkan sepeda itu, perlahaannn... sambil matanya terus memandang ke tasnya.

            Parmin mencuri? Itulah kemungkinan yang paling dikhawatirkan. Hari-hari sebelumnya sebenarnya tidak ada petunjuk ke arah itu. Bahkan hari sabtu, pada siangnya pesta itu akan berlangsung, pagi-pagi ia datang masih dengan penampilan cerah seperti biasa. Ikut menata meja dan kursi yang bukan kewajibannya. Tapi, seperti dikatakan mami, akankah goadaan itu bisa datang tiba-tiba.?

            Benar sekali. Misalnya: kapan dan mengapa? Sekitar jam sepuluh ia membanti Parjilah bebelanja ke beberapa rumah makan, pasar dan supermarket. Sekembali di rumah, menurut kesaksian Himan, ”Parmin nampak sangat lelah”, saat turun dari mobil membawa tas besar berisi beberapa kota plastik es krim. Ada peristiwa khusus perjalanan? ”Tidak ada apa-apa,” parjilah bertutur.

            Selanjutnya pekerjaan Parmin tidak berat: menyimpan es krim, menghidangkannya bila ada tamu yang berminat. Segalanya berjalan beres. Mami juga merasa tidak pernah memarahi atau menegur Parmin karena memang tidak ada kesalahan apa-apa. Malah keponakan-keponakan yang kadang nakal mencampur macam-macam es krim dan membuangnya begitu saja kalau rasanya tidak enak. Untuk ini paling-paling Parmin sedikit lebih sibuk mencuci banyak gelas kotor. Lalu apa arti kegugupan itu ?

            Adalah sangat mengagetkan ketika keesokan harinya ia tetap muncul, walau masih dengan kegelisahan dan kegugupannya. Nampak lesu, bekerja tanpa gairah, Parmin kemudian minta izin pulang awal dengan alasan kurang enak badan.

            Celakanya, tak seorang pun yang sanggup dan tega bertanya langsung ke masalah yang menjurus. Soal tas itu, teristimewa. Sebab jelas ada petujuk yang sangat menarik: Parmin tidak lagi membawa tas itu. Lebih celakanya, papi cuma andalan terakhir yang di nanti-nanti gebrakannya sanggup memperdengarkan decak-decak mulutnya, seperti hendak mengatakan: ”Ada yang tidak beres”. Artinya, papi juga mempertimbangkan kecurigaan ini dan cenderungmengiyakan perlunya kehati-hatian terhadap parmin. Tapi buat apa? Sebab, keesokan harinya lagi, yaitu dua hari setelah kejadian di garasi, Parmi.  tak masuk!.

            Bisa jadi ’sang tikus’ berhasil berbelit dari perangkap. Tapi berarti pula ada kesempatan menyelidiki. Dapur diteliti, gudang belakang di bongkar. Diamati sekdama apakah terdapat kerusakan pada pintu-pintu, dan yang penting adakah brang-barang di dalam yang hilang, yang kira-kira paling berharga dan bisa menarik perhatian seseorang yang ”sudah lama melakukan pengamatan dengan menyamar sebagai tukang kebun”.

            Pekerjaaan ini ternyata gampang, bukan saja oleh kelewat banyaknya gudang yang begitu saja tertebar di lantau ataupun berdesak-desakan dalam almari, tapi juga karena malah banyak ditemukan kembali brang-barang yang sudah lama dicari, yang barangalai lima-enam tahun lalu telah dianggap hilang. Juga barang-barang ketinggalan zaman macam tape-recorde seperempat inci buatan tahun enam puluhan yang bahkan si bungsu Tomas pun belum pernah melihatnya. Atau mesin tik tua yang konon di beli papa ”waktu masih hangat-hangat pacaran sama mami”. Ada pula seperangkat gunting dan pisau buatan pande besi Cilacap yang ”mami terpaksa beli karena zama itu susah cari barang bagus bikinan luar”. Dan tak sedikit paket-paket besar entah dari siapa yang belum pernah di buka sama sekali.

            Walhasil, kerja seharian bongkar-muat sana-sini tak menghasilkan apa-apa selain rangkaian nostalgia dan seonggok debu. Jadi? Bisa saja Parmin tak mengambil apa-apa, pada saat itu. Tapi belum tentu untuk hari-hari mendatang, sebagaimana ditandaskan oleh Tante Tatik, kakak papi tertua, ketika dihubungi mami melewati telpon. ”hati-hati. Pencuri zaman sekarang mulai bekerja pakai akal. Mereka pandai-pandai, punya planing. Rumah sebelah pernah kena rampok jutaan rupiah. Tahu siapa pelaku utamanya? Bekar sopir! Dia tahu persis di mana tempat menyimpan barang-barang berharga.”

            Mami tersenta. Ya, siapa sebenarnya Parmin?
Pembantu perempuan cepat-cepat dipanggil, lalu di interograsi.
            ”Parjilah! Dulunya Parmin itu tinggal sedusun sama kamu?”

            ”Tidak”

            ”Lho, jadi bukan apa-apa kamu to? Tidak kenal sejak didusun? Sejak kecil? Tidak tahu juga rumahnya dimana? Atau rumah saudara-saudara dia?”

            ”Tidak, saya kenal mas Parmin waktu dia kerja di rumah sebelah.”

            Mami camas, mesti bertanya ke rumah sebelah. Gagang telpon di angkat. Tapi berapa nomornya? Di buku telpon pribadi tidak tercatat karena mereka memang bukan kenal akrab, yang jarang ada keperluan khusus untuk bercakap-cakap.

            ”Oche, atau Tommy,atau siapa saja, ada yang tahu nomor telpon Pak Hendrawan rumah sebelah?”
            ”Oom Hendrawan kan sudah pindah, Mi.”
            ”Lho apan?”
            ”Waktu mami ke Jepang kemarin.”
            Ya, ampun!

            ”Rumah Parmin pasti tidak jauh dari sini. Ke sini dia Cuma bersepeda.” papi menganalisa.”Besok bisa kita tanyakan ke kelurahan kalau perlu ke kecamatan”
            Mami setuju. Tapi ....
            ”Dimana sih kantor kecamatan kita?”
Pada akhirnya ternyata Mami, atau siapun, tak perlu merepotkan diri ke kantor kelurahan, kecamatan, atau kantor apapun, karena pada hari ketiga,keempat, dan seterusnya sampai dengan kemarin ini, Parmin masuk seperti biasa.

            Namun tak berarti persoalan lalu selesai. Sebab nanti siang akan ada pesta lagi. (Arisan keluarga sebenarnya. Tapi apalah bedanya dengan pesta.) kecurigaan atas diri Parmin tak menjadika mami ragu-ragu memperbolehan Parmin datang membantu-bantu. Malah sebaliknya, pesta nanti siang seolang dirancang sebagai perangkap, yang diharapan bisa marangsang Parmin agar ”melakukan rekonstruksi tanpa paksaan”.

            ”Mau ada acara makan,” mami menambahkan.

            Tak biasanya mami berkata begitu, sebab sudah sendirinya Parkim akan tahu. Ada yang diharapkan, memang, ialah munculnya kegelisahan Parmin, atau sekurang-kurangnya suatu reaksi. Dan ini mulai tampak, ketika mami menyuruh dia ke pasar bersama Parjilah, termasuk supermarket, membeli es krim, seperti dulu.

            Adalah Himan yang bertugas mengamati Parmin secara khusus. Anak nomor dua ini (yang menjadi penganggur setelah lulus SMA tahun kemarin tidak diterima di perguruan tinggi negeri mana pun dan papi memutuskan ”sekalian sekolah diluar negeri saja”). Memang banyak waktu laung, terutama untu hal-hal yang menurutnya berbau spionase.dia pula yang kemudian melihat, betapa tangan Parmin gemeteran memegang gelas-gelas, serta berkali-kali es krim yang dituang ke dalamnya tumpah ke lantai.

            Arisan memang berjalan lancar, namun tak urung Mami terbawa-bawa jadi gelisah. Dan, entah mesti disyukuri atauah disesalkan, rekonstruksi ternyata berjalan persis yang di nanti. Parmi, suatu ketika, melintas cepat dari dapur ke garasi. Himan, siaga. Sempat ia melihat Parmin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Hanya sekilas, karena secepat itu pula Parmin melarikan sepedanya keluar.

            ”Kejar!” mami berteriak.

            Jam menunjukkan pukul lima sore ketika Himan meloncat ke atas sepeda balapnya sendiri, melesat ke jalanan mengerjar Parmin.

            Maka nampaklah dua sepeda mencoba berpacu, berkelip di antara ratusan mobil yang berhenti ataupun melata pelan, ditengah jalanan jakarta yang macet, tanpa ada yang tahu persis siapa mengejar siapa. Yang jelas Parmin tak tahu bahwa ia tengah dikejar, sementara Himan sendiri lama-lama menjadi kurang yakin bahwa parmin pantas untuk dikerjar-kejar. Sebab tak pernah satu kalipun Parmin menoleh ke belakang, lebih-lebih mencoba menyembunyikan diri.

            Jangan-jangan, justru Parmin lah yang tengah mengejar sesuatu, tapi apa?

            Suara adzan mahgrib kedengaran dari segala penjuru. Hampir sejam keduanya berpacu. Parmin makin gesit ketika menikung masuk kampung, sementara Himan mengikuti dengan perasaan makin bertanya-tanya. Jalan distiu tak lagi dikenalinya. Jalan beraspal tipis yang lebih banyak berlapis lumpur merah. Lalu lintas sepi.

            Himan terpaksa menjaga jarak. Lebih-lebih ketika Parmin turun dari sepedanya, dan masuk kesebuah gang yang tak jelas wujudnya karena kadang menyatu dengan halaman rumah orang. Ah, halaman! Betapa itu sebenarnya tak lebih dari teras sempit tanpa pagar yang biasanya di pakai tempat menjemur pakaian. Dan, gang yang lebih kecil adalah batas antara rumah-rumah itu sendiri, yang dua buah sepeda motor pun rasa-rasanya sulit berpapasan disitu. Bercabang-cabang. Berliu-liku. Serimbun rumah-rumah petak yang berderet malang-melintang. Hingga beberapa ali Himan kehilangan jejak, dan setiap kali pula ia harus menerima pandangan orang-orang sekitar yang bagi Himan berbau kecurigaan.

            Sampai kemudian Parmin nampak mnyusuri dinding sebuah rumah petak, separuh bangunan batu dan sebelah atas dinding kayu. Di ujung sana Parmin memsukkan sepedanya. Himan cepat menyusul. Tapi yang di hadapinya kemudian memaksanya untuk berhenti melangkah, urung mngergap. ”bapak pulang! Bapak datang!.”

            Tiga anak kecil keluar dari dalam merubung Parmin. Seorang meninju-ninju kaki bapaknya, seorang ber brigdance tak karuan, dan yang satunya menarik-narik tas. ”Hati-hati ada isinya!”

            Serentak ketiganya bersorak. ”mak!tas bapak ada isinya!”

            Istri Parmin keluar, membawa segalas teh yang nampaknya sudah disiapkan sejak tadi. Sementara itu tas dibuka. Ada bungkusan plastik. Bungkusan di buka. Ada kantong plastik. Kantong plastik dibuka. Sibungsu merebut. Plastik pecah. Isinya sebagian tumpah. ”mak! Es krim!” ”cepat ambil gelas!”
           
            Gelas, itulah yang tepat. Sebab es krim itu tinggal berupa cairan putih yang tak jauh beda dengan air susu, menetes deras ke lantai. Oleh sang ibu lalu ditadah ke dalam gelas yang dipegang erat oleh masing-masing anak. Serentak semua diam. Semua tegang menanti bagian. Cuma kedengaran si bungsu yang berulang menyedot ingus. Lalu selesailah pembagian itu, masing-masing sepertiga gelas lebih sedikit. Tangan-tangan mungil itu mulai memasukkan sendok ke dalam gelas.

            ”He, he, kalau sudah begini lupa berdoa, ya?”
            “Brdoa kan kalo buat makan nasi, Mak.”
            ”Ya sudah, sekarang mengucap terima kasih saja,” Parmin menyambung. ”yang memberi es krim ini, tante Oche, tante Ucis, sama om Himan. Ayo, gimana?”

            Dengan takzim etiganya mengucapkan pelan, satu anak menyebut satu nama.
            ”Terima kasih tante Oche.”
            ”Terima kasih tante Ucis.”
            ”Terima kasih om Himan.”
            Himan melangkah surut. Diambilnya sepedanya, lalu pelan ia menyusuri gang yang remang oleh sisa-sisa cahya lampu dari dalam rumah-rumah petak yang jendelanya masih terbuka. Setiap kali ia berpapasan dengan tukang bakso pulang kerja, juga penjual minya tanah, penjual siomay, kondektur bus kota, supir bajaj...

            Bila nanti Himan sulit menceritakan segala yang baru dilihatnya, tentu bukan karena sekonyong-konyong ia kehilangan kata-kata, namun perbendaharaan kata itu memang belum pernah dimilikinya, ialah untuk sekedar bercerita tentang oran-orang yang bahkan begitu dekat dengan kehidupannya. Kehidupannya juga, barangkali.

Rabu, 14 November 2012

Bingkai_cerpen

Buroq_Cerpen

Cara Menghapus Blog

Haiii, kali ini aku akan posting tentang bagaimana cara menghapus Blogger , sipp kita lihat yukk :)))

  • bukan akun blogger sobat
  • Klik setelan ( setting ) > lainnya ( other )
  • kemudian pada pilihan blog ( blog tool ) pilih hapus blog ( delete blog )
  • dan finish, blog sobat sudah terhapus.







Jangan menyebut dua frasa itu

Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun. Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh kemegahan.

Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah, bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.

"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya pepatah-petitih di lidah mereka.

Tapi, di saat yang lain, ia merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka, orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan, terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.

"Datuk kan bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang tak sebertuah lidah Datuk."

Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat. Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen, mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban masa depan.

Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.

Peristiwa buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam penyakit yang aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tusukan jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik yang dijual di kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit itu membuat si penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa mengucapkan dua frasa itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka kebanyakan menjadi bisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain erangan.

Dan ia, si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan bahwa sebab dari semua ini adalah karena kelancangan mereka yang menyebut dua frasa itu secara sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu kini bahkan telah diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia bernilai tinggi karena dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua frasa itu diproduksi, seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan asin. Dan anehnya, mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri sebenarnya juga bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang lain.

Sesekali ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan saran, "Sebenarnya kalian juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua frasa itu secara sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari seorang renta yang bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara gemerisik semak dalam hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang sumbang, "Maklum, masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di malam yang mendung itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang secara agak memaksa, membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu bingung, kenapa orang-orang yang biasanya selembe saja padanya, kini demikian bersemangat memintanya untuk ikut bersama mereka. Apakah ada sebuah perayaan? Setahu ia, di sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari besar maupun perayaan adat. Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering tidak diundang, karena mungkin dianggap telah demikian uzur, atau mungkin kehadirannya membuat orang-orang muda tak bebas berekspresi, karena pastilah terkait dengan pantang-larang.

Sesampainya di tepian laut, ia menyaksikan orang-orang telah duduk bersila, sebagian bersimpuh, di atas pasir hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat. Di bibir pantai, terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti barisan meriam yang moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah, inilah satu frasa itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang lain," pikir lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan ada sebuah upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?

Seorang muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu. "Datuk, kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa mengobati kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak terkejut. Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda bahwa orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit. Yang tampak olehnya adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang berdoa. Tapi pemuda itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul di sini sedang menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah benar-benar bisu dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian kecil yang lain, termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu, Datuk. Sementara untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua frasa itu kan, Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk melakukan prosesi pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk, saya betul-betul tak bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti tersangkut saat hendak menyebut sebuah frasa.

Lelaki renta itu seperti tak percaya. Tapi kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik, "Anak muda, kalian pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu. Kini kalian juga yang meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian tak takut badai topan yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"

Pemuda itu tertunduk ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk, kami semua pasrah. Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan kami harus mati karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami harus hidup membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"

Bibir lelaki renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia akan mampu bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya. Paling tidak di dalam hatinya, ia senantiasa mengucapkan dua frasa itu menjadi sebuah kalimat, Lancang Kuning yang tersesat di tepian Selat Melaka.***

Peradilan Rakyat _ Cerpen

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.


"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."


Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.


"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"

Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"

"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung

tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."

Pengacara muda itu tersenyum.

"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."


"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."


Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.


"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."


Pengacara tua itu meringis.

"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."

"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"

Pengacara tua itu tertawa.

"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.

Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.


"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."


Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.


"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."

"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."


"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.


Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.


Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."


Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.


"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."


"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.

Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.

"Bagaimana Anda tahu?"


Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."


Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.

"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."


Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"

"Antara lain."

"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."

Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.

"Jadi langkahku sudah benar?"

Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.


"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"

"Tidak! Sama sekali tidak!"

"Bukan juga karena uang?!"

"Bukan!"

"Lalu karena apa?"

Pengacara muda itu tersenyum.

"Karena aku akan membelanya."

"Supaya dia menang?"


"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."

Pengacara tua termenung.

"Apa jawabanku salah?"

Orang tua itu menggeleng.


"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."


"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."


"Tapi kamu akan menang."

"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."


"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."


Pengacara muda itu tertawa kecil.

"Itu pujian atau peringatan?"

"Pujian."

"Asal Anda jujur saja."

"Aku jujur."

"Betul?"

"Betul!"


Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.

"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"


"Bukan! Kenapa mesti takut?!"

"Mereka tidak mengancam kamu?"

"Mengacam bagaimana?"

"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"


"Tidak."

Pengacara tua itu terkejut.

"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"

"Tidak."

"Wah! Itu tidak profesional!"

Pengacara muda itu tertawa.

"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"

"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"

Pengacara muda itu terdiam.

"Bagaimana kalau dia sampai menang?"

"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"

"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"

Pengacara muda itu tak menjawab.

"Berarti ya!"

"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"


Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.


"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."

"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."


"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"


"Betul."

"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.


Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."


Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.

"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."


Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.


"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."

"Tapi..."


Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.

"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."


Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.


"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."


Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.


Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.


"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Selasa, 13 November 2012

Anak lai-laki dan Setoples Kacang

Seorang anak laki-laki diijinkan oleh ibunya untuk memasukkan tangannya ke dalam sebuah toples dan mengambil kacang yang ada di dalamnya. Dan anak laki-laki itu memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil kacang, tetapi karena anak laki-laki itu mengambil kacang tersebut dengan genggaman yang sangat besar, dia tidak dapat menarik tangannya keluar, dan disana dia berdiri terus, tidak rela untuk melepaskan sebiji kacangpun dari genggamannya karena dia ingin mengambil semuanya sekaligus. Karena rasa penasaran dan kecewa dia mulai menangis.

"Putraku," kata ibunya ,"Ambillah kacang tersebut setengah genggam saja, sehingga kamu akan lebih mudah mengeluarkan tanganmu dari toples tersebut, dan mungkin kamu akan bisa memiliki lebih banyak kacang lagi jika kamu mengambilnya berulang-ulang."

Jangan mengerjakan sesuatu yang terlalu banyak sekaligus.

Anak kambing dan srigala

Seekor anak kambing yang sangat lincah telah ditinggalkan oleh penggembalanya di atas atap jerami kandang untuk menghindari anak kambing itu dari bahaya. Anak kambing itu mencari rumput di pinggir atap, dan saat itu dia melihat seekor serigala dan memandang serigala itu dengan raut muka yang penuh dengan ejekan dan dengan perasaan yang penuh kemenangan, dia mulai mengejek serigala tersebut, walaupun pada saat itu dia tidak ingin mengejek sang Serigala, tetapi karena dia merasa serigala tersebut tidak akan dapat naik ke atas atap dan menangkapnya, timbullah keberaniannya untuk mengejek.

Serigala itupun menatap anak kambing itu dari bawah, "Saya mendengarmu," kata sang Serigala, "dan saya tidak mendendam pada apa yang kamu katakan atau kamu lakukan ketika kamu diatas sana, karena itu adalah atap yang berbicara dan bukan kamu."

Jangan kamu berkata sesuatu yang tidak kamu ingin katakan terus menerus

Tujuh burung gagak

Dahulu, ada seorang laki-laki yang memiliki tujuh orang anak laki-laki, dan laki-laki tersebut belum memiliki anak perempuan yang lama diidam-idamkannya. Seriiring dengan berjalannya waktu, istrinya akhirnya melahirkan seorang anak perempuan. Laki-laki tersebut sangat gembira, tetapi anak perempuan yang baru lahir itu sangat kecil dan sering sakit-sakitan. Seorang tabib memberitahu laki-laki tersebut agar mengambil air yang ada pada suatu sumur dan memandikan anak perempuannya yang sakit-sakitan dengan air dari sumur itu agar anak tersebut memperoleh berkah dan kesehatan yang baik. Sang ayah lalu menyuruh salah seorang anak laki-lakinya untuk mengambil air dari sumur tersebut. Enam orang anak laki-laki lainnya ingin ikut untuk mengambil air dan masing-masing anak laki-laki itu sangat ingin untuk mendapatkan air tersebut terlebih dahulu karena rasa sayangnya terhadap adik perempuan satu-satunya. Ketika mereka tiba di sumur dan semua berusaha untuk mengisi kendi yang diberikan kepada mereka, kendi tersebut jatuh ke dalam sumur. Ketujuh anak laki-laki tersebut hanya terdiam dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengambil kendi yang jatuh, dan tak satupun dari mereka berani untuk pulang kerumahnya.

Ayahnya yang menunggu di rumah akhirnya hilang kesabarannya dan berkata, "Mereka pasti lupa karena bermain-main, anak nakal!" Karena takut anak perempuannya bertambah sakit, dia lalu berteriak marah, "Saya berharap anak laki-lakiku semua berubah menjadi burung gagak." Saat kata itu keluar dari mulutnya, dia mendengar kepakan sayap yang terbang di udara, sang Ayah lalu keluar dan melihat tujuh ekor burung gagak hitam terbang menjauh. Sang Ayah menjadi sangat menyesal karena mengeluarkan kata-kata kutukan dan tidak tahu bagaimana membatalkan kutukan itu. Tetapi walaupun kehilangan tujuh orang anak laki-lakinya, sang Ayah dan Ibu masih mendapatkan penghiburan karena kesehatan anak perempuannya berangsur-angsur membaik dan akhirnya anak perempuan tersebut tumbuh menjadi gadis yang cantik.

Gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa dia mempunyai tujuh orang kakak laki-laki karena orangtuanya tidak pernah memberitahu dia, sampai suatu hari secara tidak sengaja gadis tersebut mendengar percakapan beberapa orang, "Gadis tersebut memang sangat cantik, tetapi gadis tersebut harus disalahkan karena mengakibatkan nasib buruk pada ketujuh saudaranya." Gadis tersebut menjadi sangat sedih dan bertanya kepada orangtuanya tentang ketujuh saudaranya. Akhirnya orangtuanya menceritakan semua kejadian yang menimpa ketujuh saudara gadis itu. Sang Gadis menjadi sangat sedih dan bertekad untuk mencari ketujuh saudaranya secara diam-diam. Dia tidak membawa apapun kecuali sebuah cincin kecil milik orangtuanya, sebuah roti untuk menahan lapar dan sedikit air untuk menahan haus.

Gadis tersebut berjalan terus, terus sampai ke ujung dunia. Dia menemui matahari, tetapi matahari terlalu panas, lalu dia kemudian menemui bulan, tetapi bulan terlalu dingin, lalu dia menemui bintang-bintang yang ramah kepadanya. Saat bintang fajar muncul, bintang tersebut memberikan dia sebuah tulang ayam dan berkata, "Kamu harus menggunakan tulang ini sebagai kunci untuk membuka gunung yang terbuat dari gelas, disana kamu akan dapat menemukan saudara-saudaramu.

Gadis tersebut kemudian mengambil tulang tersebut, menyimpannya dengan hati-hati di pakaiannya dan pergi ke arah gunung yang di tunjuk oleh bintang fajar. Ketika dia telah tiba di gunung tersebut, dia baru sadar bahwa tulang untuk membuka kunci gerbang gunung telah hilang. Karena dia berharap untuk menolong ketujuh saudaranya, maka sang Gadis lalu mengambil sebilah pisau, memotong jari kelinkingnya dan meletakkannya di depan pintu gerbang. Pintu tersebut kemudian terbuka dan sang Gadis dapat masuk kedalam, dimana seorang kerdil menemuinya dan bertanya kepadanya, "Anakku, apa yang kamu cari?" "Saya mencari tujuh saudaraku, tujuh burung gagak," balas sang Gadis. Orang kerdil tersebut lalu berkata, "Tuanku belum pulang ke rumah, jika kamu ingin menemuinya, silahkan masuk dan kamu boleh menunggunya di sini." Lalu orang kerdil tersebut menyiapkan makan siang pada tujuh piring kecil untuk ketujuh saudara laki-laki sang Gadis yang telah menjadi burung gagak. Karena lapar, sang Gadis mengambil dan memakan sedikit makanan yang ada pada tiap-tiap piring dan minum sedikit dari tiap-tiap gelas kecil yang ada. Tetapi pada gelas yang terakhir, dia menjatuhkan cincin milik orangtuanya yang dibawa bersamanya.

Tiba-tiba dia mendengar kepakan sayap burung di udara, dan saat itu orang kerdil itu berkata, "Sekarang tuanku sudah datang." Saat ketujuh burung gagak akan mulai makan, mereka menyadari bahwa seseorang telah memakan sedikit makanan dari piring mereka. "Siapa yang telah memakan makananku, dan meminum minumanku?" kata salah satunya. Saat burung gagak yang terakhir minum dari gelasnya, sebuah cincin masuk ke mulutnya dan ketika burung tersebut memperhatikan cincin tersebut, burung gagak tersebut berkata, "Diberkatilah kita, saudara perempuan kita yang tersayang mungkin ada disini, inilah saatnya kita bisa terbebas dari kutukan." Sang Gadis yang berdiri di belakang pintu mendengar perkataan mereka, akhirnya maju kedepan dan saat itu pula, ketujuh burung gagak berubah kembali menjadi manusia. Mereka akhirnya berpelukan dan pulang bersama ke rumah mereka dengan bahagia.

Burung Gagak dan Sebuah Kendi

Pada suatu musim yang sangat kering, dimana saat itu burung-burungpun sangat sulit mendapatkan sedikit air untuk diminum, seekor burung gagak menemukan sebuah kendi yang berisikan sedikit air. Tetapi kendi tersebut merupakan sebuah kendi yang tinggi dengan leher kendi sempit. Bagaimanapun burung gagak tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, dia tetap tidak dapat mencapainya. Burung gagak tersebut hampir merasa putus asa dan merasa akan meninggal karena kehausan.

Kemudian tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia lalu mengambil kerikil yang ada di samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu persatu. Setiap kali burung gagak itu memasukkan kerikil ke dalam kendi, permukaan air dalam kendipun berangsur-angsur naik dan bertambah tinggi hingga akhirnya air tersebut dapat di capai oleh sang burung Gagak.

Walaupun sedikit, pengetahuan bisa menolong diri kita pada saat yang tepat.

Semut dan Belalang

Pada siang hari di akhir musim gugur, satu keluarga semut yang telah bekerja keras sepanjang musim panas untuk mengumpulkan makanan, mengeringkan butiran-butiran gandum yang telah mereka kumpulkan selama musim panas. Saat itu seekor belalang yang kelaparan, dengan sebuah biola di tangannya datang dan memohon dengan sangat agar keluarga semut itu memberikan sedikit makan untuk dirinya.

"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut, "tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk musim dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan sepanjang musim panas?"

"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan makanan," keluh sang Belalang; "Saya sangat sibuk membuat lagu, dan sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."

Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena merasa gusar.

"Membuat lagu katamu ya?" kata sang Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah kamu selesaikan pada musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut tersebut membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan sang Belalang lagi.

Ada saatnya untuk bekerja dan ada saatnya untuk bermain.

Pemerah susu dan embernya

Seorang wanita pemerah susu telah memerah susu dari beberapa ekor sapi dan berjalan pulang kembali dari peternakan, dengan seember susu yang dijunjungnya di atas kepalanya. Saat dia berjalan pulang, dia berpikir dan membayang-bayangkan rencananya kedepan.

"Susu yang saya perah ini sangat baik mutunya," pikirnya menghibur diri, "akan memberikan saya banyak cream untuk dibuat. Saya akan membuat mentega yang banyak dari cream itu dan menjualnya ke pasar, dan dengan uang yang saya miliki nantinya, saya akan membeli banyak telur dan menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam-ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang cantik untuk di pakai ke pesta. Semua pemuda ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan datang dan mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari pemuda yang memiliki usaha yang bagus saja!"

Ketika dia sedang memikirkan rencana-rencananya yang dirasanya sangat pandai, dia menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, ember yang berada di kepalanya jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, telur, ayam, baju baru beserta kebanggaannya.

Jangan menghitung ayam yang belum menetas.

Kedelai dan Garam muatannya

Seorang pedagang, menuntun keledainya untuk melewati sebuah sungai yang dangkal. Selama ini mereka telah melalui sungai tersebut tanpa pernah mengalami satu pun kecelakaan, tetapi kali ini, keledainya tergelincir dan jatuh ketika mereka berada tepat di tengah-tengah sungai tersebut. Ketika pedagang tersebut akhirnya berhasil membawa keledainya beserta muatannya ke pinggir sungai dengan selamat, kebanyakan dari garam yang dimuat oleh keledai telah meleleh dan larut ke dalam air sungai. Gembira karena merasakan muatannya telah berkurang sehingga beban yang dibawa menjadi lebih ringan, sang Keledai merasa sangat gembira ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.

Pada hari berikutnya, sang Pedagang kembali membawa muatan garam. Sang Keledai yang mengingat pengalamannya kemarin saat tergelincir di tengah sungai itu, dengan sengaja membiarkan dirinya tergelincir jatuh ke dalam air, dan akhirnya dia bisa mengurangi bebannya kembali dengan cara itu.

Pedagang yang merasa marah, kemudian membawa keledainya tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan keranjang-keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.

Cara yang sama tidak cocok digunakan untuk segala situasi.

Dua ekor kambing

Dua ekor kambing berjalan dengan gagahnya dari arah yang berlawanan di sebuah pegunungan yang curam, saat itu secara kebetulan mereka secara bersamaan masing-masing tiba di tepi jurang yang dibawahnya mengalir air sungai yang sangat deras. Sebuah pohon yang jatuh, telah dijadikan jembatan untuk menyebrangi jurang tersebut. Pohon yang dijadikan jembatan tersebut sangatlah kecil sehingga tidak dapat dilalui secara bersamaan oleh dua ekor tupai dengan selamat, apalagi oleh dua ekor kambing. Jembatan yang sangat kecil itu akan membuat orang yang paling berani pun akan menjadi ketakutan. Tetapi kedua kambing tersebut tidak merasa ketakutan. Rasa sombong dan harga diri mereka tidak membiarkan mereka untuk mengalah dan memberikan jalan terlebih dahulu kepada kambing lainnya.

Saat salah satu kambing menapakkan kakinya ke jembatan itu, kambing yang lainnya pun tidak mau mengalah dan juga menapakkan kakinya ke jembatan tersebut. Akhirnya keduanya bertemu di tengah-tengah jembatan. Keduanya masih tidak mau mengalah dan malahan saling mendorong dengan tanduk mereka sehingga kedua kambing tersebut akhirnya jatuh ke dalam jurang dan tersapu oleh aliran air yang sangat deras di bawahnya.

Lebih baik mengalah daripada mengalami nasib sial karena keras kepala.

Si pelit

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.

Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.

Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.

"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"

"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"

"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.

Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.

"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"

Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.

Dua orang pengembarang dan kerbaunya

Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-tiba seekor beruang yang sangat besar keluar dari semak-semak di dekat mereka.

Salah satu pengembara, hanya memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya, memanjat ke sebuah pohon yang berada dekat dengannya.

Pengembara yang lain, merasa tidak dapat melawan beruang yang sangat besar itu sendirian, melemparkan dirinya ke tanah dan berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia sering mendengar bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.

Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang berbaring. Entah hal ini benar atau tidak, beruang itu sejenak mengendus-endus di dekat kepalanya, dan kelihatannya puas bahwa korbannya telah meninggal, beruang tersebutpun berjalan pergi.

Pengembara yang berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya.

"Kelihatannya seolah-olah beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang di katakan oleh beruang itu"

"Beruang itu berkata," kata pengembara yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-sama dan berteman dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang berada dalam bahaya."

Kemalangan dapat menguji sebuah persahabatan.

Anjing dan bayangannya

Seekor anjing yang mendapatkan sebuah tulang dari seseorang, berlari-lari pulang ke rumahnya secepat mungkin dengan senang hati. Ketika dia melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, dia menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini mengira dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya.

Bila saja dia berhenti untuk berpikir, dia akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut akhirnya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat dia selamat tiba di tepi sungai, dia hanya bisa berdiri termenung dan sedih karena tulang yang di bawanya malah hilang, dia kemudian menyesali apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.

Sangatlah bodoh memiliki sifat yang serakah

Kerbau dan Kambing _ cerpen

Seekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa dengan cara memasuki sebuah gua dimana gua tersebut sering digunakan oleh kumpulan kambing sebagai tempat berteduh dan menginap saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk. Saat itu hanya satu kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. Saat kerbau masuk kedalam gua, kambing jantan itu menundukkan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya agar kerbau jantan itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang Singa. Kerbau itu hanya tinggal diam melihat tingkah laku sang Kambing. Sedang diluar sana, sang Singa berkeliaran di muka gua mencari mangsanya.

Lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "Jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkah lakumu yang pengecut karena saya merasa takut kepadamu. Saat singa itu pergi, saya akan memberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan."

Sangatlah jahat, mengambil keuntungan dari kemalangan orang lain.

Senin, 12 November 2012

IPA_gaya gesek , gravitasi, magnet

GAYA GESEK
Gaya gesek adalah gaya yang menahan gerak benda agar benda itu dapat berhenti bergerak.
Besar kecilnya gaya gesek dipengaruhi oleh kasar licinnya permukaan benda yang bergesekan.
Makin halus/licin permukaan gaya gesek semakin kecil.
Makin kasar permukaan gaya gesek semakin besar

Berbagai contoh cara memperkecil dan memperbesar gaya gesek,
Manfaat gaya gesek, kerugian gaya gesek dapat diunduh disini:

http://www.ziddu.com/download/3324154/GayaGesek.pdf.html

GAYA GRAVITASI
Gaya gesek adalah gaya yang menarik semua benda baik benda hidup maupun benda tidak hidup ke arah pusat bumi.
Contoh : daun berguguran dari pohon, buah yang telah masak jatuh ke tanah, dan penerjun payung.

Benda-benda yang mengalami tarikan gaya gravitasi bumi akan bergerak jatuh ke tanah. Gerak jatuh akan semakin cepat bila benda semakin dekat dengan tanah. Setelah benda mencapai tanah, gaya gravitasi tetap bekerja sehingga benda tetap berada pada tempatnya.

Akibat tidak adanya gaya gravitasi semua makhluk hidup dan makhluk tak hidup akan melayang-layang di angkasa.

Berbagai pengaruh gaya gravitasi dapat diunduh disini:
http://www.ziddu.com/download/3324154/GayaGesek.pdf.html

GAYA MAGNET

Magnet berasal dari kata Magnesia yaitu tempat orang Yunani menemukan sifat magnet yang terdapat dalam batu-batuan yang dapat menarik logam.
Magnet disebut juga besi berani.

Macam-macam bentuk magnet, sifat kemagnetan benda, cara membuat magnet, dan penggunaan gaya magnet dapat dilihat /diunduh disini:
http://www.ziddu.com/download/3324154/GayaGesek.pdf.html

Teori Atom

1. DEMOKRITUS

atom beasal dari kata atomus yang artinya tidak terpotong, tidak dapat dibagi, atau tidak dapat dibelah


2. DALTON ( john dalton )

menurut dalton adalah :

- atom adalahbagian terkecil dari suatu unsur yang sudah tidak dapat dibagi lagi, yang masih mempunyai sifat yang sama dengan unsur tersebut.

- atom tidak bisa diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan.

- suatu atom dari suatu unsur yang sama mempunyai massa, sifat dan ukuran yang sama.

- atom-atom dari suatu unsur yang berbeda memiliki massa, sifat, dan ukuran yang berbeda pula.

- atom suatu zat tidak dapat diubah menjadi atom zat lain.

- suatu senyawa merupakan hasil reaksi antara atom-atom unsur penyusunnya


Hukum Dalton didasari oleh hukum lain yaitu :

- hukum kekekalan massa dan hukum perbandingan tetap.


3. THOMSON ( teori atom roti kismis )

menurut thomson, atom terdiri dari materi yang bermuatan positif dan elektron-elektron yang menyebar merata ( seperti kismis )


4. RUTHERFORD ( berdasarkan sinar alpha )

menyempurnakan teori atom Thomson berdasarkan dengan sinar alpha, yaitu bahwa sebagian besar sinar alpha diteruskan dan sebagian kecil sinar alpha dibelokkan atau dipantulkan 

       Berdasarkan percobaan tersebut, Rutherford menyimpulkan :

- dipusat atom terdapat inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif dan elektron-elektron yang mengelilingi inti yang bermuatan negatif pada jarak yang cukup jauh dari inti.

- massa atom terpusat pada inti atom.


5. XIELS BORN 

    Born menerangkan fakta tentang spectrum/hidrogen  yang sebelumnya telah diamati oleh ahli fisika. kesimpulan Born adalah sebagai berikut :

- atom terdiri dari inti atom yang bermuatan positif dan negatif dan dikelilingi oleh elektron-elektro yang bermuatan negatif.

- elektron-elektron tersebut mengelilingi inti atom pada lintasan-lintasan dengan tingkat-tingkat energi tertentu, tanpa memancarkan / menyerap energi.

- elektron-elektron dapat berpindah dari lintasan dalam ke lintasan luar dengan menyerap energi, sebaliknya elektron berpindah dari lintasan luar ke lintasan dalam dengan melepaskan energi.

- lintasan elektron mempunyai tingkat energi tertentu, semakin kauh lintasan elektron dari inti atom, semakin tinggi energinya.

IKRAR PELAJAR SURABAYA

KAMI PELAJAR SURABAYA BERIKRAR

1. menjaga kehormatan pelajar, dengan nerbudi pekerti luhur, serta meningkatkan prestasi, motivasi, dan inspirasi

2. menyatukan tekad dan tujuan, memusnahkan tawuran, memerangi narkoba, serta segala bentuk permasalahan remaja.

3. melestarikan lingkungan, dan berperan aktif dalam kehidupan sosial

Obat Herbal

Ramuan tradisional sering diartikan sebagai obat atau media pengobatan dengan menggunakan bahan-bahan alamiah sebagai bahan bakunya, baik itu dari tanaman, mineral, maupun binatang. Namun karena umumnya yang digunakan adalah berasal dari tanaman maka ramuan tradisional ini sering disebut juga sebagai ramuan atau resep herba / herbal.

Ramuan herba dipilih oleh mereka yang berusaha menghindari obat-obatan yang terbuat dari bahan kimia. Penggunaan ramuan ini tidak hanya dilakukan masyarakat dari negara timur saja, yang memang gudangnya pembuat ramuan tradisional, namun di negara maju pun kini mulai melirik dan menggunakan obat-obatan dari bahan alami tersebut.

Obat herbal maupun obat modern sebenarnya sama-sama berkhasiat asal digunakan sesuai kebutuhan. Keduanya dapat saling melengkapi, dimana bisa saja obat modern cocok untuk menyembuhkan suatu penyakit, sedang obat tradisional ampuh untuk memulihkan kondisi tubuh setelah terserang penyakit tersebut. Bisa juga sebaliknya. Memang, ilmu kedokteran barat yang dikenal modern dan berbasis pengetahuan ilmiah dan logis terkadang masih memandang resep-resep herba sebagai tehnik pengobatan yang tidak logis dan kurang ilmiah. Padahal, jika melihat sejarah, pengobatan dengan cara tersebut sudah terbukti membuahkan hasil. Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia sendiri banyak contohnya, khususnya di lingkungan masyarakat pedesaan.

Berikut ini beberapa alasan kuat untuk menggunakan ramuan tradisional:

  • Obat tradisional diramu dari bahan-bahan yang disediakan alam (herba), jadi lebih alami.

  • Sebagian besar bahan-bahan diserap oleh tubuh sebagai nutrisi untuk membantu sistem kekebalan tubuh.

  • Tidak mengandung bahan kimia, tanpa efek samping.

  • Bahan bisa diperoleh dengan murah, bahkan cuma-cuma. Hemat.

  • Persiapan peralatan mudah dan praktis.

ramuan tradisionalSitus ini mencoba mengumpulkan dan menyajikan aneka resep dan ramuan tradisional berbasis herba yang kerap digunakan di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah resep untuk mengobati / menyembuhkan jamu galian singset / sari rapet, mengencangkan payudara, rematik 2, muntah-muntah, kesegaran badan, biduran / kaligata (balita), keracunan (balita), dan luka berdarah (balita). Untuk memudahkan, resep yang ada kami pilah berdasarkan khasiatnya atau manfaatnya. Anda bisa menyimak halaman Resep untuk melihat katalog resep herbal yang tersedia atau memanfaatkan fitur pencarian yang tersedia untuk mencari pengobatan tradisional tertentu sesuai kebutuhan. Sebagai pelengkap, kami juga menyertakan artikel-artikel pendukung seputar kesehatan, khususnya mengenai pengobatan tradisional.

Salam sehat selalu!